Berkurban Atas Nama Anak Kecil
Assalamualaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz,
Mohon penjelasan/ pencerahannya
untuk beberapa pertanyaan mengenai aturan ber-Qurban dibawah ini ;
1. Bolehkah kita ber-Qurban dengan
mengatasnamakan seseorang yang sudah meninggal?
2. Bolehkah kita ber-Qurban dengan
mengatasnamakan anak yang belum akil baliq?
3. Bolehkah kita ber-Qurban dengan
mengatasnamakan seseorang yang masih hidup namun beliau tidak mengetahui
masalah ini sama sekali? Dari suatu literatur yang pernah saya baca mengatakan
masalah ini justru Makruh hukumnya dan menganjurkan kita yang berniat
mengatasnamakan, justru memberikan dananya kepada yang dimaksud, terserah mau
di-Qurbankan atau tidak?
4. Bagaimana hukumnya apabila
ber-Qurban dalam satu keluarga hanya 1 Qurban setiap tahun dengan
mengatasnamakan bergiliran pada anggota keluarga padahal keluarga itu mampu
untuk berqurban lebih dari 1 ?
Terimakasih untuk penjelasannya Pak
Ustadz, semoga hal ini dapat meluruskan asumsi2 yang salah selama ini. Amin
Waalaikumussalam Wr. Wb.
Kurban untuk Orang yang Sudah
Meinggal
Abu Hirairoh meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau saw
bersabda,”Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali
dari tiga hal : dari sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh
yang mendoakannya.” (HR. Muslim) Kurban seseorang yang ditujukan untuk orang
yang sudah meninggal ini bisa disamakan dengan sedekah.
Imam Nawawi menyebutkan didalam
Syarhnya,”Doa yang dipanjatkan, pahalanya akan sampai kepada orang yang sudah
meninggal demikian pula sedekahnya dan kedua hal tersebut adalah ijma para
ulama.” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XI hal 122)
Imam Nawawi juga mengatakan didalam
Syarhnya, ”Para ulama telah sependapat bahwa doa seseorang kepada orang yang
sudah meninggal akan sampai kepadanya demikan pula halnya dengan sedekah yang
ditujukan kepada orang yang meninggal, pahalanya akan sampai kepadanya dan
tidak mesti orang itu harus anaknya. (Al Majmu’ juz XV hal 522, Maktabah
Syamilah)
Para ulama telah bersepakat bahwa
sedekah seseorang kepada orang yang telah meninggal akan sampai kepadanya,
demikian pula ibadah-ibadah harta lainnya, seperti membebaskan budak. Adapun
perselisihan dikalangan para ulama adalah pada masalah ibadah badaniyah,
seperti sholat, puasa, membaca Al Qur’an dikarenakan adanya riwayat dari Aisyah
didalam shohihain dari Nabi saw,”Barangsiapa yang meninggal dan masih memiliki
kewajiban puasa maka hendaklah walinya berpuasa untuknya.” (Majmu’ Fatawa juz V
hal 466, Maktabah Syamilah)
Dalil lain yang juga digunakan oleh
para ulama didalam membolehkan kurban bagi orang yang meninggal adalah firman
Allah swt,”dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya,” (QS. An Najm : 39)
Dalam menafsirkan ayat tersebut,
Ibnu Katsir juga menyelipkan sabda Rasulullah saw,”Apabila anak Adam meninggal
dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal : dari sedekah jariyah
atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim) dan
dia mengatakan,”Tiga golongan didalam hadits ini, sebenarnya semua berasal dari
usaha, kerja keras dan amalnya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah
hadits,’Sesungguhnya makanan yang paling baik dimakan seseorang adalah dari
hasil usahanya sendiri dan sesungguhnya seorang anak adalah hasil dari usaha
(orang tua) nya.” (Abu Daud, Tirmidzi, an Nasai dan Ahmad) Dan sedekah jariyah
seperti wakaf dan yang sejenisnya adalah buah dari amal dan wakafnya.
Firman Allah swt.”Sesungguhnya Kami
menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka
kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu Kami
kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasiin : 12)
–(Tafsir Ibnu Katsir juz VII hal 465, Maktabah Syamilah)
Jadi dibolehkan bagi seseorang
berkurban bagi orang yang sudah meninggal terlebih lagi jika orang yang sudah
meninggal tersebut masih ada hubungan kerabat dengannya.
Kurban Mengatas-namakan Anak yang
Belum Akil Baligh
Kurban merupakan ibadah yang
dibebankan kepada mereka yang mukallaf yaitu berakal, baligh, dan memiliki
kesanggupan sebagaimana umumnya suatu ibadah. Sedangkan anak yang masih kecil
yang belum sampai pada usia mukallaf tidaklah terkena beban menyembelih hewan
kurban namun jika orang tuanya berkurban mengatas-namakan anaknya itu maka sah.
Sesungguhnya Nabi saw telah
menyembelih seekor kambing bagi dirinya saw dan anggota keluarganya dan ini sah
sebagaimana pendapat yang masyhur dari para ulama. Ini adalah pendapat Malik,
Ahmad dan yang lainnya, dan para sahabat juga melakukan hal yang demikian.
Terdapat riwayat bahwa Nabi saw pernah menyembelih dua ekor domba dan
mengatakan saat menyembelih salah satunya :”Ya Allah ini dari Muhammad dan
keluarga Muhammad.” (Majmu’ Fatawa juz VI hal 181 Maktabah Syamilah)
Berkurban untuk Orang yang Masih
Hidup
Dari sebuah hadits yang diirwayatkan
dari Jabir berkata,”Aku pernah sholat bersama Rasulullah saw saat Idul Adha.
Tatkala selesai (sholat) beliau saw membawa seekor domba dan menyembelihnya
sambil mengucapkan,’Bismillah wallohu akbar, Ya Allah ini buatku dan buat
orang-orang yang belum melakukan kurban dari umatku.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan
Tirmidzi)
Juga hadits yang diriwayatkan dari Abu Rofi’ bahwa Rasulullah saw apabila ingin berkurban beliau membeli dua ekor domba gemuk yang memiliki dua buah tanduk yang bagus. Tatkala selesai sholat dan khutbah untuk manusia maka dia membawa salah satunya dan berdiri di tempat sholatnya serta menyembelihnya dengan tangannya sendiri dengan memakai pisau kemudian mengucapkan, ”Ya Allah ini untuk seluruh umatku yang telah bersaksi bahwa Engkau Maha Esa dan bersaksi bahwa aku saw telah menyampaikan (risalah-Mu). Setelah itu dia membawa domba yang lainnya dan memotongnya sendiri sambil mengatakan,’Ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad.” Seluruh orang miskin makan dari kedua domba itu, begitu juga beliau saw dan keluarganya.” (HR. Ahmad)
Hadits-hadits tersebut menunjukkan
bahwa Rasulullah saw berkurban mengatas-namakan diri, anggota keluarga dan
seluruh umatnya. Beliau saw tidak merinci tentang umatnya didalam hadits
tersebut artinya adalah umatnya secara umum, baik mereka yang sudah meninggal
atau yang masih hidup, baik mereka yang hadir bersama Rasulullah saw saat
penyembelihan atau yang tidak hadir, baik mereka yang hidup pada masa beliau
saw atau termasuk juga mereka yang hidup setelah masa Nabi saw.
Adapun manakah yang terbaik, apakah
berkurban mengatas-namakan orang itu walaupun dia tidak mengetahui atau
memberikan dana seharga hewan kurban kepadanya kemudian terserah yang
bersangkutan memperlakukan uang itu mau digunakan untuk kurban atau yang
lainnya?
Ada diantara ulama termasuk asy
Sya’bi, Malik serta Abu Tsaur menganggap bahwa bersedekah dengan uang sejumlah
harga hewan kurban lebih utama daripada menyembelihnya, berdasarkan sebuah
riwayat dari Bilal bahwasanya beliau mengatakan,”Aku tidaklah perduli,
ketahuilah bahwa aku berkurban dengan seekor ayam.”
Pendapat yang paling tepat adalah
bahwa berkurban lebih utama daripada bersedekah dengan uang seharga hewan
kurban dikarenakan hal itu adalah sunnah muakkadah dan telah ditunjukkan oleh
berbagai dalil. Kalaulah terdapat beberapa riwayat dari sebagian sahabat atau
salafush sholeh bahwa mereka pernah membeli sekerat daging dan berkurban
dengannya, ini bukan berarti bahwa daging tersebut sudah cukup untuk kurban
atau pahalanya seperti pahala kurban…Adapun maksud dari itu adalah
memperkenalkan kepada manusia bahwasanya berkurban itu tidaklah wajib akan
tetapi sunnah yang berisfat pilihan.
Ikrimah mengatakan,”Ibnu Abbas ra
pernah menyuruhku pada hari Idul Adha dengan membawa dua dirham lalu aku
membelikannya sekerat daging untuknya.” (beliau) berpesan bahwa apabila orang
yang bertemu denganmu menanyakannya maka jawablah,’Ini adalah kurbannya Ibnu
Abbas.’ (Tafsir Qurthubi). Dan bahwasanya apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas
dan dari Ikrimah serta Umar tentang hal itu bertujuan bahwa kurban tidaklah
perlu dilakukan secara terus-menerus sehingga orang-orang awam tidak
berkeyakinan bahwa hal itu wajib yang harus dilakukan. (Majmu’ Fatawa juz IX
hal 313, Maktabah Syamilah)
Jadi berkurban bagi orang yang masih
hidup walaupun dia tidak mengetahuinya saat disembelihkan hewan kurban untuknya
lebih baik daripada menyedekahkan sejumlah uang seharga hewan kurban kepadanya
untuk kemudian terserah dirinya dalam penggunaannya, bisa untuk berkurban atau
selainnya.
Diperbolehkan bagi seseorang yang ingin berkurban untuk orang lain kemudian menyerahkan kepadanya sejumlah uang seharga hewan kurban itu tapi tetap meminta kepadanya untuk membelikannya hewan kurban dan disembelih pada waktu-waktu kurban, sehingga sasaran dari ibadah kurban akan terpenuhi. Namun jika ia memberikan kepadanya sejumlah uang seharga hewan kurban kemudian mempersilahkan kepadanya untuk memperlakukan uang itu sekehendak hatinya walaupun tidak untuk kurban maka ada kemungkinan dia akan menggunakannya untuk selain kurban. Dan jika ini terjadi maka sasaran dari kurban tidak akan terpenuhi karena kurban adalah mengucurkan darah sembelihan.
Kurban Sekali Setiap Tahun Padahal
Mampu
Sebagaimana disebutkan sebelumnya,
jumhur fuqoha berpendapat bahwa penyembelihan hewan kurban ini adalah sunnah
muakkadah yang berarti tidaklah berdosa orang yang meninggalkannya tanpa uzur
sekalipun dan tidak berhak atasnya hukuman. Penyembelihan ini tidaklah sampai
kepada wajib yang berarti setiap orang diharuskan melakukannya namun demikian
tetap seorang yang memiliki kesanggupan sangat dianjurkan untuk melakukannya
berdasarkan firman Allah swt,”Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan
berkorbanlah.” (QS Al Kautsar : 2) dan juga riwayat dari Abu Hurairoh bahwa
Rasulullah saw bersabda,”Barang siapa yang memiliki kelapangan rezeki dan dia
tidak berkurban maka janganlah dia mendekati tempat sholat kami.” (HR. Ahmad
and Ibnu Majah)
Jadi diperbolehkan bagi seorang yang
berkurban setiap tahun untuk satu orang anggota keluarganya meskipun dia
memiliki kesanggupan berkorban lebih dari itu namun lebih baik baginya
berkurban untuk seluruh anggota keluarganya dalam satu tahun itu tanpa mencicil
satu-satu setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan tak seorang pun mengetahui apa
yang akan terjadi pada masa yang akan datang, apakah ia akan tetap memiliki
kesanggupan seperti tahun ini atau sebaliknya?!
Wallahu A’lam
Komentar