Empat Prinsip Etos Kerja Islami
Oleh
M Husnaini
Bekerja
merupakan keniscayaan dalam hidup. Dalam suasana zaman yang semakin sulit, kaum
beriman dituntut mampu survive dan bangkit membangun peradaban seperti sedia
kala. Syarat untuk itu tidak cukup lagi ditempuh dengan kerja keras, tetapi
harus kerja cerdas.
Tidak ada lain bagi kaum beriman kecuali harus mengkaji pandangan Islam tentang etos kerja. Meski makhluk hidup di bumi sudah mendapat jaminan rezeki dari Allah, namun kemalasan tidak punya tempat dalam Islam. Fatalisme atau paham nasib tidak dikenal dalam Islam. Firman Allah, "...maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan” (Qs Al-Ankabut: 17).
Tidak ada lain bagi kaum beriman kecuali harus mengkaji pandangan Islam tentang etos kerja. Meski makhluk hidup di bumi sudah mendapat jaminan rezeki dari Allah, namun kemalasan tidak punya tempat dalam Islam. Fatalisme atau paham nasib tidak dikenal dalam Islam. Firman Allah, "...maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan” (Qs Al-Ankabut: 17).
Menurut
ayat itu, rezeki harus diusahakan. Dan seakan mengonfirmasi ayat di atas,
firman Allah di ayat lain tegas menyatakan, cara mendapat rezeki adalah dengan
bekerja. “Jika shalat telah ditunaikan, maka menyebarlah kalian di muka bumi,
carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian
beruntung” (Qs Al-Jumu’ah: 10).
Ayat
lain bahkan menyatakan, dijadikannya siang terang agar manusia mencari rezeki
dari Allah (Qs Al-Isra: 12), terlihatnya bahtera berlayar di lautan agar
manusia mencari karunia Allah (Qs An-Nahl: 14), adanya malam dan siang agar
manusia beristirahat pada waktu malam dan bekerja pada waktu siang (Qs
Al-Qashash: 73).
Masih
banyak ayat serupa. Intinya, rezeki Allah hanya akan diperoleh dengan etos
kerja tinggi. Bagaimana teknis pelaksanaan etos kerja sebagaimana perintah
Allah di atas?
Menurut
riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul Iman’ ada empat prinsip etos kerja yang
diajarkan Rasulullah. Keempat prinsip itu harus dimiliki kaum beriman jika
ingin menghadap Allah dengan wajah berseri bak bulan purnama.
Pertama,
bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari segi jenis
pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal adalah haram, yang
dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’ dan ‘haram
lidzatihi’.
Analoginya,
menjadi anggota DPR adalah halal. Tetapi jika jabatan DPR digunakan mengkorupsi
uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram. Jabatan yang semula halal
menjadi haram karena ada faktor penyebabnya. Itulah ‘haram lighairihi’. Berbeda
dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap haram. Keharamannya bukan
karena faktor dari luar, melainkan jenis pekerjaan itu memang ‘haram
lidzatihi’.
Kedua,
bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan
an al-mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain.
Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi
pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau
membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas
punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi atau
ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan
demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam Islam.
Lucu jika masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu karena
dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia dan
terhormat di mata Allah ketimbang meminta-minta.
Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi). Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah yang cukup populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).
Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”.
Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi). Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah yang cukup populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).
Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”.
Keempat,
bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi).
Penting dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan keluarga,
tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam menganjurkan
solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan telinga dari jerit
tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa
atasnya.” (Qs Al-Hadid: 7).
Lebih
tegas, Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi mengabaikan
nasib kaum miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama (Qs Al-Ma’un: 1-3).
Itu karena tidak dikenal istilah kepemilikan harta secara mutlak dalam Islam.
Dari setiap harta yang Allah titipkan kepada manusia, selalu menyisakan hak
kaum lemah dan papa.
Demikianlah,
dan sekali lagi, kemuliaan pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat dari jenisnya.
Setelah memenuhi empat prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan akan diukur dari
kualitas niat (shahihatun fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun
fi at-tahshil). Itulah pekerjaan yang bernilai ibadah dan kelak akan
mengantarkan pelakunya ke pintu surga.
Komentar