Hukum Mengolok-olok Dan Ghibah Dalam Islam
Mendamaikan
Persengketaan
Kalau
cuaca pertengkaran itu telah cerah kembali sesuai dengan keharusan bersaudara,
maka bagi masyarakat Islam mempunyai kewajiban lain. Sebab sepanjang pengertian
masyarakat Islam yaitu suatu masyarakat yang saling saling membantu dan saling
menolong. Oleh karena itu tidak boleh sementara orang melihat saudaranya
bertengkar dan saling membunuh, kemudian dia berdiri sebagai penonton, dan
membiarkan api bertambah menyala dan kebakaran makin meluas. Bahkan setiap
orang yang arif dan bijaksana serta ada kemampuan, harus terjun ke gelanggang
guna mendamaikan persengketaan itu dengan niat semata-mata mencari kebenaran
dan jauh dari pengaruh hawa nafsu. Seperti apa yang difirmankan Allah:
"...
maka adakanlah perdamaian di antara saudara-saudaramu, dan takutlah kepada
Allah agar kamu mendapat rahmat." (al-Hujurat: 10)
Dalam
salah satu hadisnya Rasulullah s.a.w. pernah menjelaskan tentang keutamaan
mendamaikan ini, serta bahayanya pertentangan dan perpisahan. Sabda Rasulullah
s.a.w.:
"Maukah
kamu saya tunjukkan suatu perbuatan yang lebih utama daripada tingkatan
keutamaan sembahyang, puasa dan sedekah? Mereka menjawab: Baiklah ya
Rasulullah! Maka bersabdalah Rasulullah s.a.w.: yaitu mendamaikan persengketaan
yang sedang terjadi; sebab kerusakan karena persengketaan berarti menggundul,
saya tidak mengatakan menggundul rambut, tetapi menggundul agama."
(Riwayat Tarmizi dan lain-lain)
Jangan
Ada Suatu Golongan Memperolokkan Golongan Lain
Dalam ayat-ayat yang telah kami sebutkan terdahulu terdapat
sejumlah hal yang dilarang oleh Allah, demi melindungi persaudaraan dan
kehormatan manusia.
Larangan pertama.
tentang memperolokkan orang lain. Oleh karena itu tidak halal seorang muslim
yang mengenal Allah dan mengharapkan hidup bahagia di akhirat kelak,
memperolokkan orang lain, atau menjadikan sementara orang sebagai objek
permainan dan perolokannya. Sebab dalam hal ini ada unsur kesombongan yang
tersembunyi dan penghinaan kepada orang lain, serta menunjukkan suatu
kebodohannya tentang neraca kebajikan di sisi Allah. Justru itu Allah
mengatakan: "Jangan ada suatu kaum memperolokkan kaum lain, sebab
barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang
memperolokkan; dan jangan pula perempuan memperolokkan perempuan lain, sebab
barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang
memperolokkan."
Yang
dinamakan baik dalam pandangan Allah, yaitu: iman, ikhlas dan mengadakan kontak
yang baik dengan Allah. Bukan dinilai dari rupa, badan, pangkat dan kekayaan.
Dalam
hadisnya Rasulullah s.a.w. mengatakan:
"Sesungguhnya
Allah tidak melihat rupa kamu dan kekayaan kamu, tetapi Allah melihat hati kamu
dan amal kamu." (Riwayat Muslim)
Bolehkah
seorang laki-laki atau perempuan diperolokkan karena suatu cacat di badannya,
perangainya atau karena kemiskinannya?
Dalam
sebuah riwayat diceriterakan, bahwa Ibnu Mas'ud pernah membuka betisnya dan
nampak kecil sekali. Maka tertawalah sebagian orang. Lantas Rasulullah s.a.w.
bersabda:
"Apakah
kamu mentertawakan kecilnya betis Ibnu Mas'ud, demi Allah yang diriku dalam
kekuasaanNya: bahwa kedua betisnya itu timbangannya lebih berat daripada gunung
Uhud." (Riwayat Thayalisi dan Ahmad)
Al-Quran
juga menghikayatkan tentang orang-orang musyrik yang memperolok orang-orang
mu'min, lebih-lebih mereka yang lemah --seperti Bilal dan 'Amman-- kelak di
hari kiamat, neraca menjadi terbalik, yang mengolok-olok menjadi yang
diolok-olok dan ditertawakan,
Firman
Allah:
"Sesungguhnya
orang-orang yang durhaka itu mentertawakan orang-orang yang beriman. Dan
apabila mereka melalui mereka, mereka berlirik-lirikan. Dan apabila mereka
kembali kepada keluarganya, mereka kembali dengan suka cita. Dan apabila mereka
melihat mereka itu, mereka berkata: 'Sungguh mereka itu orang-orang yang
sesat.' Padahal mereka itu tidak diutus untuk menjadi pengawal atas mereka.
Oleh karena itu pada hari ini orang-orang mu'min akan mentertawakan orang-orang
kafir itu." (al-Muthaffifin 29-34)
Ayat
ini31 dengan tegas dan jelas menyebutkan dilarangnya perempuan mengolok-olok
orang lain, padahal perempuan sudah tercakup dalam kandungan kata kaum. Ini
menunjukkan, bahwa pengolok-olokan sementara perempuan terhadap yang lain,
termasuk hal yang biasa terjadi di kalangan mereka.
Jangan
Mencela Diri-Diri Kamu
Larangan kedua:
Tentang lumzun, yang menurut arti lughawi berarti: al-wakhzu (tusukan) dan
ath-tha'nu (tikaman). Sedang lumzun yang dimaksud di sini ialah: 'aib (cacat).
Jadi seolah-olah orang yang mencela orang lain, berarti menusuk orang tersebut
dengan ketajaman pedangnya, atau menikam dengan hujung tombaknya.
Penafsiran
ini tepat sekali. Bahkan kadang-kadang tikaman lidah justru lebih hebat.
Seperti kata seorang penyair:
Luka
karena tombak masih dapat diobati
Tetapi
luka karena lidah berat untuk diperbaiki.
Bentuk
larangan dalam ayat ini mempunyai suatu isyarat yang indah sekali.
Ayat
tersebut mengatakan: laa talmizu anfusakum (jangan kamu mencela diri-diri
kamu). Ini tidak berarti satu sama lain saling cela-mencela. Tetapi al-Quran
menuturkan dengan jama'atul mu'minin, yang seolah-olah mereka itu satu tubuh.
Sebab mereka itu secara keseluruhannya saling membantu dan menolong. Jadi
barangsiapa mencela saudaranya, berarti sama dengan mencela dirinya sendiri.
Karena dia itu dari dan untuk saudaranya.
Jangan
Memberi Gelar dengan Gelar-Gelar yang Tidak Baik
Ketiga: Termasuk mencela yang diharamkan, ialah: memberi gelar
dengan beberapa gelar yang tidak baik, yaitu suatu panggilan yang tidak layak
dan tidak menyenangkan yang membawa kepada suatu bentuk penghinaan dan celaan.
Tidak
layak seorang manusia berbuat jahat kepada kawannya. Dipanggilnya kawannya itu
dengan gelar yang tidak menyenangkan bahkan menjengkelkan. Ini bisa menyebabkan
berubahnya hati dan permusuhan sesama kawan serta menghilangkan jiwa kesopanan
dan perasaan yang tinggi.
Su'uzh-Zhan
(Berburuk Sangka)
Keempat: Islam menghendaki untuk menegakkan masyarakatnya dengan
penuh kejernihan hati dan rasa percaya yang timbal balik; bukan penuh ragu dan
bimbang, menuduh dan bersangka-sangka,
Untuk
itu, maka datanglah ayat al-Quran membawakan keempat sikap yang diharamkan ini,
demi melindungi kehormatan orang lain. Maka berfirmanlah Allah:
"Hai
orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak menyangka, karena sesungguhnya
sebagian sangkaan itu berdosa." (al-Hujurat: 12)
Sangkaan
yang berdosa, yaitu sangkaan yang buruk.
Oleh
karena itu tidak halal seorang muslim berburuk sangka terhadap saudaranya,
tanpa suatu alasan dan bukti yang jelas. Sebab manusia secara umum pada asalnya
bersih. Oleh karena itu prasangka-prasangka tidak layak diketengahkan dalam
arena kebersihan ini justru untuk menuduh. Sabda Nabi:
"Hati-hatilah
kamu terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu sedusta-dusta
omongan." (Riwayat Bukhari)
Manusia
karena kelemahan sifat kemanusiaannya, tidak dapat menerima prasangka dan
tuduhan oleh sebagian manusia, lebih-lebih terhadap orang-orang yang tidak ada
hubungan baik.
Oleh
karena itu sikap yang harus ditempuh, dia harus tidak menerima tuduhan itu dan
berjalan mengikuti suara nafsu tersebut.
Inilah
makna hadis Nabi yang mengatakan:
"Kalau
kamu akan menyangka, maka jangan kamu nyatakan." (Riwayat Thabarani)
Tajassus
(Memata-matai)
Kelima: Tidak adanya kepercayaan terhadap orang lain, menyebabkan
seseorang untuk melakukan perbuatan batin yang disebut su'uzh-zhan dan
melakukan perbuatan badan yang berbentuk tajassus. Sedang Islam bertujuan
menegakkan masyarakatnya dalam situasi bersih lahir dan batin. Oleh karena itu
larangan bertajassus ini dibarengi dengan larangan su'uzh-zhan (berburuk
sangka). Dan banyak sekali su'uzh-zhan ini terjadi karena adanya tajassus.
Setiap
manusia mempunyai kehormatan diri yang tidak boleh dinodai dengan tajassus dan
diselidiki cacat-cacatnya, sekalipun dia berbuat dosa, selama dilakukan dengan
bersembunyi.
Abul
Haitsam sekretaris Uqbah bin 'Amir --salah seorang sahabat Nabi-- berkata: saya
pernah berkata kepada Uqbah: saya mempunyai tetangga yang suka minum arak dan
akan saya panggilkan polisi untuk menangkapnya. Maka kata Uqbah: Jangan! Tetapi
nasehatilah mereka itu dan peringatkanlah. Abul Haitsam menjawab: Sudah saya
larang tetapi mereka tidak mau berhenti, dan tetap akan saya panggilkan polisi
untuk menangkapnya. Uqbah berkata: Celaka kamu! Jangan! Sebab saya pernah
mendengar Rasulullah s.a.w. berkata:
"Barangsiapa
menutupi suatu cacat, maka seolah-olah ia telah menghidupkan anak yang ditanam
hidup-hidup dalam kuburnya." (Riwayat Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Hibban)
Rasulullah
s.a.w. menilai, bahwa menyelidiki cacat orang lain itu termasuk perbuatan orang
munafik yang mengatakan beriman dengan lidahnya tetapi hatinya membenci. Kelak
mereka akan dibebani dosa yang berat di hadapan Allah.
Dalam
hadis Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah s.a.w,
pernah naik mimbar kemudian menyeru dengan suara yang keras:
"Hai
semua orang yang telah menyatakan beriman dengan lidahnya tetapi iman itu belum
sampai ke dalam hatinya! Janganlah kamu menyakiti orang-orang Islam dan jangan
kamu menyelidiki cacat-cacat mereka. Sebab barangsiapa menyelidiki cacat saudara
muslim, maka Allah pun akan menyelidiki cacatnya sendiri; dan barangsiapa yang
oleh Allah diselidiki cacatnya, maka Ia akan nampakkan kendatipun dalam
perjalanan yang jauh." (Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah)
Maka
demi melindungi kehormatan orang lain, Rasulullah s.a.w. mengharamkan dengan
keras seseorang mengintip rumah orang lain tanpa izin; dan ia membenarkan
pemilik rumah untuk melukainya. Seperti sabda Nabi:
"Barangsiapa
mengintip rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka halal buat mereka untuk menusuk
matanya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Diharamkan
juga mendengar-dengarkan omongan mereka tanpa sepengetahuan dan perkenannya.
Sabda Nabi:
"Barangsiapa
mendengar-dengarkan omongan suatu kaum; sedang mereka itu tidak suka, maka
kelak di hari kiamat kedua telinganya akan dituangi cairan timah."
(Riwayat Bukhari)
Al-Quran
mewajibkan kepada setiap muslim yang berkunjung ke rumah kawan, supaya jangan
masuk lebih dahulu, sehingga ia minta izin dan memberi salam kepada
penghuninya.
Firman
Allah:
"Hai
orang-orang yang beriman! Jangan kamu masuk rumah selain rumah-rumah kamu
sendiri, sehingga kamu minta izin lebih dahulu dan memberi salam kepada
pemiliknya. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu, supaya kamu ingat. Maka
jika kamu tidak menjumpai seorang pun dalam rumah itu, maka jangan kamu masuk,
sehingga kamu diberi izin. Dan jika dikatakan kepadamu: kembalilah! Maka
kembalilah kamu. Yang demikian itu lebih bersih buat kamu, dan Allah Maha Menge
tahui apa saja yang kamu kerjakan." (an-Nur: 27-28)
Di
dalam hadis Nabi, juga dikatakan:
"Barangsiapa
membuka tabir kemudian dia masukkan pandangannya sebelum diizinkan, maka
sungguh dia telah melanggar suatu hukum yang tidak halal baginya untuk
dikerjakan." (Riwayat Ahmad dan Tarmizi)
Nas-nas
larangan tentang tajassus dan menyelidiki cacat orang lain ini meliputi hakim
dan yang terhukum, seperti yang diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Mu'awiyah dari Rasulullah s.a.w. ia bersabda:
"Sesungguhnya
kamu jika menyelidiki carat orang lain, berarti kamu telah merusak mereka atau
setidak-tidaknya hampir- merusak mereka itu." (Riwayat Abu Daud dan ibnu
Hibban)
Abu
Umamah meriwayatkan dari Rasulullah s.a.w., ia bersabda:
"Sesungguhnya
seorang kepala apabila mencari keraguraguan terhadap orang lain, maka ia telah
merusak mereka." (Riwayat Abu Daud)
Ghibah
(Mengumpat)
Keenam: Kita dilarang ghibah (mengumpat).
Seperti
firman Allah:
"Dan
jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya." (al-Hujurat: 12)
Rasulullah
s.a.w. berkehendak akan mempertajam pengertian ayat tersebut kepada
sahabat-sahabatnya yang dimulai dengan cara tanya-jawab, sebagaimana tersebut
di bawah ini:
"Bertanyalah
Nabi kepada mereka: Tahukah kamu apakah yang disebut ghibah itu? Mereka
menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih tahu. Maka jawab Nabi, yaitu: Kamu
membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang ia tidak menyukainya. Kemudian Nabi
ditanya: Bagaimana jika pada saudaraku itu terdapat apa yang saya katakan tadi?
Rasulullah s.a.w. menjawab: Jika padanya terdapat apa yang kamu bicarakan itu,
maka berarti kamu mengumpat dia, dan jika tidak seperti apa yang kamu bicarakan
itu, maka berarti kamu telah menuduh dia." (Riwayat Muslim, Abu Daud,
Tarmizi dan Nasa'i)
Manusia
tidak suka kalau bentuknya, perangainya, nasabnya dan ciri-cirinya itu
dibicarakan. Seperti tersebut dalam hadis berikut ini:
"Dari
Aisyah ia berkata: saya pernah berkata kepada Nabi: kiranya engkau cukup (puas)
dengan Shafiyah begini dan begini, yakni dia itu pendek, maka jawab Nabi:
Sungguh engkau telah berkata suatu perkataan yang andaikata engkau campur
dengan air laut niscaya akan bercampur." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan
Baihaqi)
Ghibah
adalah keinginan untuk menghancurkan orang, suatu keinginan untuk menodai harga
diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu tidak ada di hadapannya.
Ini menunjukkan kelicikannya, sebab sama dengan menusuk dari belakang. Sikap
semacam ini salah satu bentuk daripada penghancuran. Sebab pengumpatan ini
berarti melawan orang yang tidak berdaya.
Ghibah
disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit sekali orang yang lidahnya
dapat selamat dari cela dan cerca.Oleh karena itu tidak mengherankan, apabila
al-Quran melukiskannya dalam bentuk tersendiri yang cukup dapat menggetarkan
hati dan menumbuhkan perasaan.
Firman
Allah:
"Dan
jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya; apakah salah seorang di antara kamu
suka makan daging bangkai saudaranya padahal mereka tidak menyukainya?!"
(al-Hujurat: 12)
Setiap
manusia pasti tidak suka makan daging manusia.
Maka
bagaimana lagi kalau daging saudaranya? Dan bagaimana lagi kalau daging itu
telah menjadi bangkai?
Nabi
memperoleh pelukisan al-Quran ini ke dalam fikiran dan mendasar di dalam hati
setiap ada kesempatan untuk itu.Ibnu Mas'ud pernah berkata:
"Kami
pernah berada di tempat Nabi s.a.w., tiba-tiba ada seorang laki-laki berdiri
meninggalkan majlis, kemudian ada seorang laki-laki lain mengumpatnya sesudah
dia tidak ada, maka kata Nabi kepada laki-laki ini: Berselilitlah kamu! Orang
tersebut bertanya: Mengapa saya harus berselilit sedangkan saya tidak makan
daging? Maka kata Nabi: Sesungguhnya engkau telah makan daging saudaramu."
(Riwayat Thabarani dan rawi-rawinya rawi-rawi Bukhari)
Dan
diriwayatkan pula oleh Jabir, ia berkata:
"Kami
pernah di tempat Nabi s.a.w. kemudian menghembuslah angin berbau busuk. Lalu
bertanyalah Nabi: Tahukah kamu angin apa ini? Ini adalah angin (bau) nya
orang-orang yang mengumpat arang-orang mu'min." (Riwayat Ahmad dan
rawi-rawinya kepercayaan)
Dikutip
dari
Halal
dan Haram dalam Islam
Oleh Syekh
Muhammad Yusuf Qardhawi
Alih
bahasa: H. Mu'ammal HamidyPenerbit: PT. Bina Ilmu, 1993
Komentar