IKHLAS DAN SESUAI DENGAN AS SUNNAH SYARAT DITERIMANYA AMALAN
Tidak satupun diantara kaum muslimin yang tidak mempunyai harapan di dalam
kehidupan yang abadi diakhirat kelak memperoleh kebahagian dalam surga dan
selamat dari kesesengsaraan dalam neraka. Sehingga untuk itu kaum muslimin
sejak dini sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk akhiratnya kelak dengan
melakukan berbagai macam amalan pendekatan diri kepada Allah Sang Maha Pencipta
sebagaimana yang diperintahkan oleh syari’at. Karena dengan melakukan
pendekatan diri berupa amal kebaikan dunia maka kelak mereka di akhirat akan
mendapatkan pahala, yang mana dengan pahala yang diperoleh tersebut merupakan
kunci untuk memasuki gerbang surga.
Tetapi sangat disayangkan banyak diantara kaum muslimin dalam melakukan berbagai amalan pendekatan diri kepada Allah di dunia ini hanya didasarkan kepada hawa nafsu dengan meninggalkan ketentuan syari’at yang mengatur bagaimana seharusnya seorang muslim itu berbuat dalam kesehariannya sehingga akan memperoleh imbalan pahala yang berlipat ganda.
Melakukan berbagai ragam amalan untuk mendekatkan diri kepadas Allah subhanahu wa ta’ala guna memperoleh imbalan pahala sesungguhnya bukanlah berdasarkan kepada sekehendak hati, tetapi harus dilandaskan kepada syarat-syarat tertentu yaitu sebagaimana yang digariskan dalam al-QAur’an dan as-Sunnah.
Para ulama menyebutkan bahwa syarat diterimanya amal kebajikan selain beriman kepada Allah sebagai satu-satunya yang berhak untuk diibadahi secara benar, harus dipenuhi pula dua syarat lainnya yaitu :
1.Mengikhlaskan amalan untuk Allah semata yang tidak ada sekutu baginya.
2. Melakukan amalan pendekatan diri kepada Allah wajiharus sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam ( sesuai dengan sunnah )
Sehingga dengan adanya syarat sebagaimana yang disebutkan diatas, maka amal
kebajikan tidak ada faedahnya bagi manusia apabila dilakukan tidak berdasarkan
petunjuk dari Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagaimana yang banyak
diucapkan oleh orang-orang “ yang penting niatnya karena Allah “
Dalam ulasan berikut ini akan dibahas secara sepintas tentang syarat
diterimanya sebuah amal agar diperoleh imbalan pahala dari Allah subhanahu wa
ta’ala sebagaimana yang telah dijanjikan-Nya.
I.IKHLAS UNTUK ALLAH SEMATA
Pengertian Ikhlas Menurut Para Ulama
Para ulama menjelaskan ikhlas dengan beberapa pengertian, namun sebenarnya
hakikatnya sama. Berikut perkataan ulama-ulama tersebut
Abul Qosim Al Qusyairi mengatakan, “Ikhlas adalah menjadikan niat hanya untuk Allah dalam melakukan amalan ketaatan. Jadi, amalan ketaatan tersebut dilakukan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Sehingga yang dilakukan bukanlah ingin mendapatkan perlakuan baik dan pujian dari makhluk atau yang dilakukan bukanlah di luar mendekatkan diri pada Allah.”
Abul Qosim juga mengatakan, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar
manusia.”
Jika kita sedang melakukan suatu amalan maka hendaklah kita tidak
bercita-cita ingin mendapatkan pujian makhluk. Cukuplah Allah saja yang memuji
amalan kebajikan kita. Dan seharusnya yang dicari adalah ridho Allah, bukan
komentar dan pujian manusia.
Hudzaifah Al Mar’asiy mengatakan, “Ikhlas adalah kesamaan perbuatan seorang
hamba antara zhohir (lahiriyah) dan batin.” Berkebalikan dengan riya'. Riya’
adalah amalan zhohir (yang tampak) lebih baik dari amalan batin yang tidak
ditampakkan. Sedangkan ikhlas, minimalnya adalah sama antara lahiriyah dan
batin.
Dzun Nuun menyebutkan tiga tanda ikhlas:
Tetap merasa sama antara pujian dan celaan orang lain.
Melupakan amalan kebajikan yang dulu pernah diperbuat.
Mengharap balasan dari amalan di akhirat (dan bukan di dunia).
Melupakan amalan kebajikan yang dulu pernah diperbuat.
Mengharap balasan dari amalan di akhirat (dan bukan di dunia).
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah
riya’. Beramal karena manusia termasuk kesyirikan. Sedangkan ikhlas adalah
engkau terselamatkan dari dua hal tadi.”
Ada empat definisi dari ikhlas yang bisa kita simpulkan dari perkataan ulama
di atas.
Meniatkan suatu amalan hanya untuk Allah.
Tidak mengharap-harap pujian manusia dalam beramal.
Kesamaan antara sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi.
Mengharap balasan dari amalannya di akhirat.
Tidak mengharap-harap pujian manusia dalam beramal.
Kesamaan antara sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi.
Mengharap balasan dari amalannya di akhirat.
Pentingnya Ikhlas Dalam Beramal Menurut Ulama Salaf
1.Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Sesungguhnya seseorang akan
mendapatkan anugerah -balasan dari Allah- sebatas apa yang dia niatkan.”
(lihatAdab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 7 oleh Imam an-Nawawi)
2.Sahl bin Abdullah at-Tasturi rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang
cerdas memandang tentang hakikat ikhlas ternyata mereka tidak menemukan
kesimpulan kecuali hal ini; yaitu hendaklah gerakan dan diam yang dilakukan,
yang tersembunyi maupun yang tampak, semuanya dipersembahkan untuk Allah ta’ala
semata. Tidak dicampuri apa pun; apakah itu kepentingan pribadi, hawa nafsu,
maupun perkara dunia.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 7-8)
3.Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Tidaklah aku mengobati suatu
penyakit yang lebih sulit daripada masalah niatku. Karena ia sering
berbolak-balik.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)
4.Abul Qasim al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan, “Ikhlas adalah
menunggalkan al-Haq (Allah) dalam hal niat melakukan ketaatan, yaitu dia
berniat dengan ketaatannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
Bukan karena ambisi-ambisi lain, semisal mencari kedudukan di hadapan manusia,
mengejar pujian orang-orang, gandrung terhadap sanjungan, atau tujuan apapun
selain mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.” (lihat Adab al-’Alim wa
al-Muta’allim, hal. 8)
5.Abu Ya’qub as-Susi rahimahullah mengatakan, “Apabila orang-orang telah
berani mempersaksikan keikhlasan telah melekat pada dirinya maka sesungguhnya
keikhlasan mereka itu masih butuh pada keikhlasan.” (lihat Adab al-’Alim wa
al-Muta’allim, hal. 8)
6.Abu ‘Utsman rahimahullah mengatakan, “Ikhlas adalah melupakan pandangan
orang dengan senantiasa memperhatikan bagaimana pandangan (penilaian)
al-Khaliq.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)
7.al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, “Meninggalkan amal karena
manusia adalah riya’ sedangkan beramal untuk dipersembahkan kepada manusia
merupakan kemusyrikan. Adapun ikhlas itu adalah tatkala Allah menyelamatkan
dirimu dari keduanya.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)
8.Yusuf bin al-Husain rahimahullah berkata, “Sesuatu yang paling sulit di
dunia ini adalah ikhlas.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)
9.Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Dahulu dikatakan: Bahwa seorang
hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan, selama jika dia berkata maka dia
berkata karena Allah, dan apabila dia beramal maka dia pun beramal karena
Allah.” (lihat Ta’thir al-Anfas min Hadits al-Ikhlas, hal. 592)
10.Seorang lelaki berkata kepada Muhammad bin Nadhr rahimahullah, “Dimanakah
aku bisa beribadah kepada Allah?” Maka beliau menjawab, “Perbaikilah hatimu,
dan beribadahlah kepada-Nya di mana pun kamu berada.” (lihat Ta’thir al-Anfas,
hal. 594)
11.Abu Turab rahimahullah mengatakan, “Apabila seorang hamba bersikap
tulus/jujur dalam amalannya niscaya dia akan bisa merasakan kelezatan amal itu
sebelum melakukannya. Dan apabila seorang hamba ikhlas dalam beramal, niscaya
dia akan merasakan kelezatan amal itu di saat sedang melakukannya.” (lihat
Ta’thir al-Anfas, hal. 594)
12.Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata: Abu Hazim rahimahullah berkata,
“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu lebih daripada kesungguhanmu dalam
menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 231).
13.Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, ada dua buah pertanyaan yang
semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu:
Untuk siapa? dan Bagaimana? Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang
keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap
tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab amal tidak akan diterima
jika tidak memenuhi kedua-duanya (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 113).
Perintah untuk Ikhlas Dalam Beramal.
Ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu amalan, di samping amalan
tersebut harus sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa
ikhlas, amalan jadi sia-sia belaka. Ibnul Qayyim dalam Al Fawa-id memberikan
nasehat yang sangat indah tentang ikhlas, “Amalan yang dilakukan tanpa disertai
ikhlas dan tanpa mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaikan
seorang musafir yang membawa bekal berisi pasir. Bekal tersebut hanya
memberatkan, namun tidak membawa manfaat apa-apa.”
Dalam melakukan amal kebajikan Islam memerintahkan bagi pemeluknya untuk
ikhlas, yaitu dengan niat hanya ditujukan bagi Allah subhanahu wa ta’ala tanpa
diembeli atau ditumpangi untuk kepentingan yang lain atau ditujukan kepada
selain Allah.
Setiap amalan tergantung kepada niatnya, maka dalam melakukan amal kebajikan hendaklah diniatkan hanya karena Allah. Berkaitan dengan ini sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari rahimahullah ta’ala menyebutkan :
صحيح البخاري ٥٢: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنَا
مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ
عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ عَنْ عُمَرَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Shahih Bukhari 52: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah
berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yahya bin Sa'id dari Muhammad
bin Ibrahim dari Alqamah bin Waqash dari Umar, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan
(balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa
niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah
dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya
atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah
kepada apa dia diniatkan.".
Sedangkan niat itu sangat tergantung dengan keikhlasan pada Allah. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan
supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Allah pun mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba. Allah
Ta’ala berfirman,
قُلْ إِن تُخْفُواْ مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللّهُ
وَيَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَاللّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ
Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau
kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui". Allah mengetahui apa-apa yang
ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu. (QS.Ali Imran : 29 )
Dalam ayat lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya’ –yang merupakan
lawan dari ikhlas- dalam firman-Nya,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ
لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang
sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah
amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.(QS.Az-Zumar : 65 )
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu
dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka
Aku akan meninggalkannya (maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan
perbuatan syiriknya.”[3] An Nawawi mengatakan, “Amalan seseorang yang berbuat
riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa,
bahkan ia akan mendapatkan dosa.” [Syarh Muslim, An Nawawi, 9/370, Mawqi’ Al
Islam.)
Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سنن أبي داوود ٣١٧٩: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا
سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ عَنْ أَبِي طُوَالَةَ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْمَرٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ
يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
Sunan Abu Daud 3179: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah
telah menceritakan kepada kami Suraij bin An Nu'man telah menceritakan kepada
kami Fulaih dari Abu Thuwalah Abdullah bin Abdurrahman bin Ma'mar Al Anshari
dari Sa'id bin Yasar dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang
seharusnya karena Allah Azza Wa Jalla, namun ia tidak mempelajarinya kecuali
untuk mendapatkan sebagian dari dunia, maka ia tidak akan mendapatkan baunya
Surga pada Hari Kiamat."
Dari gambaran yang dikemukan diatas maka dapatlah difahami bahwa
sesungguhnya melakukan amalan pendekatan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala
harus berlandaskan kepada niat yang ikhlas, dimana seluruh bentuk ibadah itu
hanya semata murni ditujukan terhadap Allah azza wa jalla , dan bersih dari
segala kotoran yang dinamakan syirik.
II. AMALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA ALLAH DILAKUKAN HARUS SESUAI DENGAN
AS-SUNNAH
Yang dimaksudkan dengan as-sunnah di sini bukanlah sinonim dari kata
mustahab atau sesuatu yang dianjurkan. Namun Sunnah di sini berarti metode
hidup dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kata
Sunnah mencakup hal-hal yang hukumnya wajib dan mustahab, sebagaimana juga
mencakup permasalahan akidah, ibadah, mu’amalah maupun akhlak.
Para ulama salaf berkata: “Sunnah berarti mengamalkan al-Qur`an, hadits,
serta mengikuti salafush sholih dan jejak mereka.”
Ibnu Rojab rahimahullah berkata: “Sunnah adalah jalan yang dititi, yang
mencakup keyakinan, perbuatan dan perkataan, yang menjadi pegangan hidup Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin. Itulah sunnah yang
sempurna. Tidaklah generasi salaf dahulu memaksudkan kata Sunnah melainkan
mencakup tiga hal di atas.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 28)
Sumber hukum Islam terdapat pada dua hal, al-Qur`an dan as-Sunnah. Sunnah
inilah yang merupakan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
keduanya wajib dijadikan pegangan dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّيْقَدْتَرَكْتُفِيْكُمْمَاإِنِاعْتَصَمْتُمْبِهِفَلَنْتَضِلُّوْاأَبَدًاكِتَابَاللهِوَسُنَّةَنَبِيِّهِ.
Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian sesuatu yang bila kalian
berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya;
yaitu kitabullah dan sunnah nabi-Nya. (Hadits shohih. Shohih at-Targhib wa
at-Tarhib, no. 40)
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dijadikan sebagai pegangan
hidup para sahabat dahulu. Mereka selalu berjalan di atas Sunnah, taat dan
patuh dengan perintah yang ada di dalamnya. Mereka begitu mengagungkan sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjaga dan membelanya hingga rela mempertaruhkan
jiwa dan raga. Bila melihat seseorang yang menyelishi Sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam baik sengaja atau tidak, mereka langsung bersikap tegas
kepadanya. Dengan demikian mereka menjaga kemurnian Sunnah dari tangan kotor
dan makar orang-orang jahat.
Demikianlah seterusnya perjalanan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
para sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, serta generasi-generasi setelahnya
begitu perhatian dengannya dan sangat mencintainya dengan kecintaan yang
sebenarnya.
Nabi yang mulia shalallahu’alaihi wa sallam telah bersabda ,
“ Tidak tinggal sesuatupun yang mendekatkan kamu kesurga dan menjauhkan kamu dari api neraka, melainkan sesungguhnya telah dijelaskan kepada kamu “. Oleh karena itu barang siapa mencari jalan jannah (surga) dan menjauhkan dirinya dari nar (neraka ) tanpa mengikuti al Kitab dan as-Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menempuh jalan-jalan yang tidak pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Hadits lain yang membicarakan tentang telah sempurnanya Islam ini adalah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab sunan-nya :
Dari Muththalib bin Hanthab : “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu’alaihi wa
sallam telah bersabda , “ Tidak aku tinggalkan sesuatu /sedikitpun juga apa-apa
yang Allah telah perintahkan kepada kamu, melainkan sesungguhnya aku
perintahkan kepada kamu. Dan tidak aku tinggalkan kepada kamu sesuatu/
sedikitpun juga apa-apa yang Allah telah larang/cegah kamu (mengerjakannSya),
melainkan sesungguhnya telah aku larang kamu dari mengerjakannya
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H): Bagi setiap orang
yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka orang itu dusta dalam pengakuannya tersebut
hingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.”
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk
mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang
mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena
setiap bid’ah adalah sesat.
Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan menjelaskan dalam kitabnya:
“Termasuk mengagungkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah mengagungkan
Sunnahnya dan berkeyakinan tentang wajibnya mengamalkan Sunnah tersebut, dan
meyakini bahwa Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menduduki
kedudukan kedua setelah Al-Qur-anul Karim dalam hal kewajiban mengagungkan dan
mengamalkannya, sebab As-Sunnah merupakan wahyu dari Allah.
Sejalan dengan berbagai pertimbangan yang dikemukakan diatas, maka tidak ada
pilihan yang lain bagi setiap muslim untuk berpegang kepada as-Sunnah
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan menjadikannya sebagai acuan
dalam melakukan segala bentuk perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah
subhanahu wa ta’ala. Sehingga amalan yang dilakukan dapat diterima disisi
Allah. Syari’at melarang kaum muslimin untuk menyelisihi as-Sunnah Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam. Dengan demikian maka syarat diterimanya amalan
tiada lain adalah mencontoh dan mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam sebagaimana yang terangkum dalam as-Sunnah .
Larangan Membuat Hal-Hal Yang Baru Dalam Beramal
Agama Islam yang dinyatakan telah sempurna oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana yang tertuang dalam firmannya dalam Al-Qur’an surah Al Maidah ayat 3 serta beberapa hadits, maka dengan kesempurnaannta tersebut tidaklah diperlukan lagi adanya penambahan-penambahan atau mengada-adakan hal-hal yang baru berdasarkan keinginan hawa nafsu dan pemikiran yang menganggap apa saja yang baik itu boleh saja dilakukan dalam agama meskipun tidak ada termasuk dalam syari’at.
Apabila sementara ini ada pihak-pihak atau mereka-mereka yang memandang perlu memberikan penambahan atau mengada-adakan lagi hal-hal yang baru diluar syari’at yang telah ada, maka berarti mereka tersebut menganggap Islam tersebut belum sempurna. Dan lebih fatal lagi mereka yang menambahkan atau mengada-adakan hal-hal yang baru diluar syari’at telah secara tidak sadar telah mengangkat dirinya sebagai pembuat syari’at sehingga mereka tersebut dapat dikatagorikan sebagai pihak yang mempunyai kedudukan sebagai pembuat syari’at , yang dalam hal ini hanyalah Allah subhananu wa ta’ala dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam.
Bid’ah secara bahasa adalah hal yang baru dalam agama setelah agama ini sempurna. Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah wa-fatnya Nabi shalallagu’alaihi wa sallam berupa kemauan nafsu dan amal perbuatan. Bila dikatakan: “Aku membuat bid’ah, artinya melakukan satu ucapan atau perbuatan tanpa adanya contoh sebelumnya..” Asal kata bid’ah berarti menciptakan tanpa contoh sebelumnya.
Dikemukan oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitab beliau
Al-Masaail bahwa berdasarkan ayat dan hadits tentang kesempurnaan Islam,
memberikan penjelasan kepada kita, bahwa agama kita ini ( al-Islam ) telah
sempurna yang tidak memerlukan tambahan-tambahan dan pengurangan sedikitpun
juga hatta ( meskipun) sekecil apapun juga. Meski apapun juga bentuk dan alasan
nya dari tambahan-tambahan tersebut meskipun dianggap baik atau dianggap
besaroleh sebagian manusia atyau dari siapa saja datangnya, adalah suatu perkara
besar yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi sebaliknya
sangat dicintai oleh iblis dan bala tentaranya. Dan pelakunya secara sengaja
atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung, telah membantah firman Allah
tersebut diatas. Atau telah menuduh Rasulullah shalallahu’alahi wsa sallam
telah berhianat dan menyembunyikan di dalam menyampaikan risalah. Inilah yang
pernah diperingatkan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah ta’ala di dalam
salah satu perkataannya yang sangat terkenal sekali yaitu :
“ Barang siapa yang membuat bid’ah di dalam islam, yang dia menganggapnya
sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik ), maka sesungguhnya dia telah menuduh
bahwa Muhammad shallahu’alahi wa sallam telah berhianat di dalam ( menyampaikan
) risalah. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman : “Pada hari ini Aku telah
sempurnakan bagi kamu agama kamu”. Maka, apa-apa yang tidak menjadi (bagian
dari ) agama pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi (bagian dari) agama pada
hari ini ( lihat al I’tisham juz 1 hal.49 )
Alangkah bagus dan indahnya perkataan Imam Malik diatas dan ini merupakan kaidah besar yang samngat agung sekali di dalam agama Allah, bahwa “ apa-apa yang tidak menjadi agama pada hari itu-yakni ketika turunnya ayat diatas, maka tidak akan menjadi agama pada hari ini, Yakni, apa-apa yang bukan ajaran islam pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi ajaran islam pada hari ini.
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ) dalam penjelasan beliau tentang pengertian bid’ah, macam-macam bid’ah dan hukum-hukumnya mengemukakan bahwa “:
Perbuatan bid'ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: Telah menceritakan kepada kami Ya'qub telah
menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad dari bapaknya dari Al Qasim bin
Muhammad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini
yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak".
Segala bentuk bid'ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
" Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru,
karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah
adalah sesat". [Hadits Riwayat Abu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan
shahih].
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru
dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu
tertolak".
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
صحيح مسلم ٣٢٤٢: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ
وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ
سَعْدٍ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ
إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ
الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Shahih Muslim 3242: dari 'Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru
dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu
tertolak."
Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam
Ad-Dien (Islam) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat dan tertolak.
Artinya bahwa bid'ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.
Imam al-Barbahary Rahimahullah berkata: “Jauhilah setiap perkara bid’ah
sekecil apapun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar.
Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada ummat ini berasal dari perkara kecil
dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh,
lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya
mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan-pelan mereka
menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata: “Tidak boleh mengikuti pendapat
seseorang ketika dihadapkan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Kaum muslimin telah bersepakat
bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam maka tidak boleh ia meninggalkannya karena adanya ucapan seseorang
(selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Berkaitan dengan larangan untuk membuat atau mengada-adakan hal-hal yang
baru dalam agama ( bid’ah) maka untuk itu wajib bagi setiap kaum muslimin
menjauhkan diri dan meninggalkan apa saja yang tidak ada contohnya dari
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam.
K E S I M P U L A N
Amalan yang bertujuan untuk mendekatkan diri seseolrang hamba kepada Allah,
hanya dapat diterima bila disertai dua syarat yaitu :
1.Mengikhlaskan amalan untuk Allah semata yang tidak ada sekutu baginya. Karena sesuai dengan sabda Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa : “ Sesungguhnya amalan itu hanya akan dinilai bil;a disertai dengan niat. Dan sesungguhnya masing-masing orang akan mendapatkan pahala sesuai yang dia niatkan :
2.Mencontoh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam beramal. Mereka yang mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah dan dalam melakukan ibadah itu ia mencontoh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka amalannya tersebut akan diterima . Sementara mereka yang kehilangan keikhlasan dan kehilangan ittiba’ kepada Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam atau kehilangan salah satu dari keduanya, maka amalannya itu akan tertolak, sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا.
Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan], lalu kami jadikan amal
itu (bagaikan) debu yang berterbangan.(QS. Al-Furqon: 23)
( Wallaahu ta’ala a’alam )
Sumber :
1.Al-Qur’an dan Terjemah, www. salafi-db.com
2.Ensiklopedi Kitab Hadits 9 imam, www. lidwapusaka.com
3. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim , Ibnu Katsir
4.Sifat Shalat Nabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin al -Bani
5. Kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
6. Pengertian, Macam-macam dan Hukum Bid’ah, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan dalam artikel :
http://www.salafi-db.com
7. Al Masaa’il ( Masalah-masalah Agama) Abd.Hakim bin Amir Abdat.
8. Risalah Bid’ah, Abd. Hakim bin Amir Abdat.
9.Buletin al-Iman
10. Artikel www.Assariyyah.com
11.Artikel www.muslim.or.id
12.Artikel www.rumaysho.com
1.Al-Qur’an dan Terjemah, www. salafi-db.com
2.Ensiklopedi Kitab Hadits 9 imam, www. lidwapusaka.com
3. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim , Ibnu Katsir
4.Sifat Shalat Nabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin al -Bani
5. Kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
6. Pengertian, Macam-macam dan Hukum Bid’ah, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan dalam artikel :
http://www.salafi-db.com
7. Al Masaa’il ( Masalah-masalah Agama) Abd.Hakim bin Amir Abdat.
8. Risalah Bid’ah, Abd. Hakim bin Amir Abdat.
9.Buletin al-Iman
10. Artikel www.Assariyyah.com
11.Artikel www.muslim.or.id
12.Artikel www.rumaysho.com
Selesai disusun waktu dhuha, Rabu 1 Jumadil Awal 1434 H/13 Maret 2013.
( Penyusun : Musni Japrie )
( Penyusun : Musni Japrie )
Komentar