Jika Berbohong demi Kebaikan

SATU dua kali dalam hidup kita, mungkin kita pernah berbohong. Nah,
bagaimana jika berbohong demi kebaikan? Dalam Islam, ternyata tidak
tidak ada keringanan sedikitpun soal bohong ini, kecuali karena darurat
atau kebutuhan yang mendesak. Itu pun dengan batas yang sangat sempit.
Seperti tidak dijumpai lagi cara yang lain untuk mewujudkan tujuan yang
baik itu, selain harus bohong.
Suatu ketika Nabi Ibrahim pernah bersama istrinya Sarah. Mereka
berdua melewati daerah yang dipimpin oleh penguasa yang zhalim. Ketika
rakyatnya melihat istri Ibrahim, mereka lapor kepada raja, di sana ada
lelaki bersama seorang wanita yang sangat cantik –sementara penguasa ini
punya kebiasaan, merampas istri orang dan membunuh suaminya– Penguasa
itu mengutus orang untuk menanyakannya.
“Siapa wanita ini?” tanya prajurit.
“Dia saudariku.” Jawab Ibrahim. Setelah menjawab ini, Ibrahim
mendatangi istrinya dan mengatakan, “Wahai Sarah, tidak ada di muka bumi
ini orang yang beriman selain aku dan dirimu. Orang tadi bertanya
kepadaku, aku sampaikan bahwa kamu adalah saudariku. Karena itu, jangan
engkau anggap aku berbohong… dst.” (HR Bukhari).
Nabi Ibrahim ‘alahis salam dalam hal ini menggunakan kalimat
ambigu. Kata “saudara” bisa bermakna saudara seagama atau saudara
kandung. Yang diiginkan Ibrahim adalah saudara seiman/seagama, sementara
perkataan beliau ini dipahami oleh prajurit, saudara kandung.
Inilah bohong yang dibolehkan, yakni bohong untuk mewujudkan
kemaslahatan atau menghindari bahaya yang lebih besar. Diriwayatkan dari
Ummu Kultsum binti Uqbah, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan
seorang pendusta, orang yang berbohong untuk mendamaikan antar-sesama
manusia. Dia menunbuhkan kebaikan atau mengatakan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud menumbuhkan kebaikan:
Ketika ada dua kubu, A dan B yang berseteru, datang C. Dia sampaikan
bahwa kepada A tentang B, yang membuat A ridha dan mau memaafkan
kesalahan B, dan sebaliknya. Meskipun bisa jadi, C tidak pernah
mendengarnya. Semua itu dalam rangka perdamaian. Demikian keterangan di Syarh Sunnah Al-Baghawi.
Dalam riwayat yang lain: “Belum pernah aku dengar, kalimat
(bohong) yang diberi keringanan untuk diucapkan manusia selain dalam 3
hal: Ketika perang, dalam rangka mendamaikan antar-sesama, dan suami
berbohong kepada istrinya atau istri berbohong pada suaminya (jika untuk
kebaikan).” (HR. Muslim)
Yang dimaksud berbohong antar-suami istri adalah berbohong dalam
rangka menampakkan rasa cinta, menggombal, dengan tujuan untuk
melestarikan kasih sayang dan ketenangan keluarga. Seperti memuji
istrinya hingga tersanjung, atau menampakkan kesenangan bersamanya
sampai pasangannya tersipu malu, dst.
Satu yang perlu diberi garis tebal, bukan termasuk bohong yang
dibolehkan dalam hadis ini, berbohong untuk mengambil hak pasangannya
atau lari dari tanggung jawab. Demikian keterangan An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
Al-Hafidz ibnu hajar mengatakan, “Ulama sepakat bahwa yang
dimaksud bohong antar-suami istri adalah bohong yang tidak menggugurkan
kewajiban atau mengambil sesuatu yang bukan haknya.” (Fathul Bari, 5:300)
Sementara bohong ketika perang bentuknya dengan pura-pura menampakkan
kekuatan atau menipu musuh dengan strategi perang dst. Dan tidak
termasuk bagian ini adalah mengkhianati perjanjian. [Sumber: konsultasi
syariah/islamweb]
Komentar